Dunia maya, seperti medsos, melahirkan banyak istilah yang sering viral. Istilah baru yang mendefinisikan kelompok atau gejala sosial di masyarakat. Sebut saja misalnya pansos, gemoy, dan Generasi Strawberry.
Istilah terakhir itu marak dialamatkan kepada Generasi Z yang berkonotasi negatif. Bahwa anak-anak zaman now cenderung lembek atau rapuh, mudah dihancurkan oleh tantangan hidup. Idiom Strawberry Generation semakin populer setelah Prof. Rhenald Kasal meluncurkan buku berjudul Strawberry Generation: Mengubah Generasi Rapuh menjadi Generasi Tangguh.
Jadi, ada dua kata kunci di sana, yaitu rapuh dan tangguh. Generasi Strawberry pun kian ramai diperbincangkan di medsos seperti Twitter yang memang dinamis dan kadang provokatif. Merujuk asal penamaan, buah strawberry dipilih karena adanya fakta bahwa buah strawberry terlihat cantik dan menawan dari luar, tetapi kulitnya cenderung lembek saat ditekan berkali-kali bahkan hingga ke dalam.
Baca juga: Rekomendasi Tempat Bermain Anak di Jakarta yang Menyenangkan
Kalau Bunda penasaran dengan Generasi Strawberry, silakan baca sampai tuntas sebagai bekal memahami anak masa kini. Agar tak termakan mitos atau asumsi yang mungkin belum valid.
Fakta Generasi Strawberry

1. Generasi Strawberry lahir tahun 2000-an
Setelah ditelisik, istilah generasi strawberry kali pertama muncul di Taiwan, yang disematkan kepada generasi yang lahir pada tahun 2000-an. Buku karya Rhenald Kasali dan presentasi beliau dalam video di kanal YouTube membuat istilah tersebut semakin dikenal masyarakat luas. Namun, Generasi Strawberry menurut Kasali merupakan generasi yang punya banyak gagasan kreatif.
Namun, di balik kreativitas yang berlimpah, ternyata mereka mudah menyerah dan gampang sakit hati. Istilah sekarang, baper atau bawa perasaan. Ibarat buah strawberry, mereka disebut-sebut berkepribadian “lunak” dan kurang tahan banting (less resilient).
2. Generasi Strawberry eksis di medsos
Jika Generasi Strawberry eksis di medsos, seperti Twitter (x.com), maka itu bisa dimaklumi sebab kelahiran istilahnya pun dari jagat maya. Mereka menemukan ekosistem yang cocok di media sosial, untuk menumpahkan keluh kesah atau perasaan secara spontan.
Tak jarang pula mereka meluapkan ide-ide ekspresif yang inovatif dan out of the box. Sayangnya, ada saja cuitan generasi ini yang bernada keluhan alias “sambat” yang dicurhatkan melalui akun media sosial masing-masing.
Di media sosial lah mereka dibesarkan, di mana bertebaran ide-ide kreatif sekaligus curhatan bebas yang seolah bertentangan dengan pandangan generasi X atau millennial. Media sosial punya andil sangat besar dalam pembentukan karakter generasi strawberry. Generasi ini ibarat spons yang mampu menyerap air dengan sangat mudah, termasuk menyerap informasi yang dibaca atau materi yang dikonsumsi.
Ada sisi negatifnya, misalnya kecenderungan melakukan self-diagnosis yang tidak tepat atau terburu-buru. Munculnya kata-kata healing, overthinking, dan insecure merupakan indikasi bahwa kosakata ini muncul tanpa pendapat ahli dan justru melemahkan potensi mereka.
3. Mental rapuh identik dengan Generasi Strawberry
Generasi Strawberry tak jarang disebut bermental tempe, yang jelas menyiratkan bahwa mereka cenderung mudah menyerah dan kurang liat atau tangguh. Boleh jadi salah satu penyebabnya adalah karena mereka telah terbiasa bergantung pada perangkat teknologi yang memanjakan atau melenakan. Jadi mereka kurang terbangun kemandiriannya.
Kalau mereka ingin sukses ke depan, mereka harus mengubah cara pandang. Mereka harus terpapar pada tantangan agar terlatih bergulat sehingga tak mudah hancur. Tak ada lagi istilah mental tempe kalau mereka terbiasa berada dalam sebuah kompetisi dan bangkit dari keterpurukan akibat kegagalan.
4. Fixed mindset vs growth mindset
Dalam bukunya Rhenald Kasali juga menggarisbawahi seputar fixed mindset dan growth mindset. Para penentang perubahan, seperti Generasi Strawberry, memiliki kecerdasan tinggi tetapi statis sehingga sebenarnya mudah menyerah saat menghadapi tantangan baru. Bisa jadi orangtua segera membantu saat mereka dulu menghadapi kesulitan.
Berbeda dengan orang-orang yang memiliki growth mindset yang cepat beradaptasi dalam menerima hal-hal baru. Kendati saat sekolah dulu mereka tidak pintar, tetapi kecerdasan mereka bisa dikembangkan berkat kesudian menerima kritik dan saran di kehidupan nyata.
Baca juga: 7 Perlengkapan Sekolah Anak TK yang Perlu Bunda Persiapkan
Menghadapi Generasi Strawberry
Lalu bagaimana cara menghadapi atau menemani mereka agar bisa hidup dengan ketangguhan emosi dan kekuatan mental?
Pertama, berikan empati. Dengarkan perasaan dan pengalaman Generasi Strawberry dengan penuh empati. Jangan terburu menghakimi hanya karena sebuah keputusan yang mereka ambil tidak kita setujui. Pastikan mereka tahu bahwa perasaan mereka dihargai.
Kedua, bantu mereka membangun resiliensi. Keterampilan resiliensi yang kuat sangat dibutuhkan sebagai modal di era penuh tantangan. Mereka akan sering menghadapi tekanan dan tantangan sehingga perlu dilatih untuk beradaptasi dan bangkit saat belum berhasil.
Ketiga, jangan ketagihan teknologi. Teknologi memang penting, tetapi penggunaan yang berlebihan akan berbahaya, bukan lagi produktif. Alih-alih membantu, mereka malah bisa ketagihan dan berujung petaka karena sudah ketergantungan. Harus seimbang antara konsumsi dunia digital dan aktivitas di dunia nyata.
Jadilah role model yang positif. Orangtua harus berusaha menjadi model peran yang positif bagi anak di rumah, tidak melulu menyalahkan tanpa mau mencontohkan. Saatnya Bunda memperlihatkan bagaimana sebenarnya cara mengelola tekanan dan konflik secara sehat dengan emosi yang matang.
Baca Juga: Manfaat Musik untuk Perkembangan Otak Anak
Itulah yang perlu dipahami dan dilakukan tentang Generasi Strawberry. Mulai sekarang Bunda tak perlu khawatir jika punya anak termasuk generasi ini. Dekatkan emosi dan temani selagi bisa. Ajarkan mereka semangat berjuang dan bangkit kalau menemui kegagalan.